Ciri dan Perbedaan Seorang Pembaharu Dengan Nabi - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Monday, 20 November 2017

Ciri dan Perbedaan Seorang Pembaharu Dengan Nabi


YakusaBlog- Seorang “pembaharu” bukanlah seorang Nabi, dan ini pasti tidak diragukan. Akan tetapi, karakter dan sepak terjangnya mendekati karakter dan sepak terjang yang dimiliki para Nabi.

Abul A’la Maududi berpendapat, bahwa beberapa ciri yang pasti harus dimiliki oleh seorang pembaharu dalam Islam adalah: Pikiran yang jernih, wawasan yang luas, sikap yang konsisten, kemampuan menganalisa hal-hal mana yang melampaui batas dan mana yang akan mengantarkan pada tujuan, mampu memelihara keseimbangan; memiliki kekuatan berpikir yang sama sekali tidak terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat rendah dan premordial yang terus berjalan sepanjang masa; berani dan pantang mundur dalam menghadapi tantangan zaman; memiliki kemampuan memimpin; kemampuan ijtihad, membangun dan membina masyarakat.

Dan di atas itu semua, ia haruslah seorang Muslim yang memiliki keimanan, pandangan, pemahaman, dan perasaan yang benar tentang Islam, yang dengan itu ia mampu membedakan antara Islam dan jahiliyah, hatta pada hal-hal yang bersifat parsial sekalipun.

Ia juga haruslah seorang yang mampu menjelaskan kebenaran dan memisahkannya dari segala yang menodai sepanjang sejarah perjalanan Islam.
Itu lah ciri-ciri khusus yang tidka bisa tidak harus dimiliki oleh seorang pembaharu. Karakter semacam ini, dalam skalanya yang lebih besar, merupakan sisfat-sifat para Nabi dan Rasul.

Sedangkan perbedaan antara seorang pembaharu dengan Nabi yaitu, ada satu hal yang secara prinsipil dapat dijadikan pembeda antara seorang  pembaharu dengan seorang Nabi. Seorang Nabi mengemban perintah dalam bidang pelaksanaan syari’at dari Allah, dan beliau pun sadar sepenuhnya bahwa tugas itu betul-betul datang dari Allah.

Dengan demikian ia pastu diberi wahyu, dan memulai karyanya berupa dakwah kenabian untuk mengajak manusia mengikutinya. Sebagai hasil dari penerimaan maupun penolakan dakwahnya itu muncullah sikap iman dan kafir di kalangan ummat.

Berbeda dengan itu, maka seorang pembaharu sama sekali tidak memiliki kehormatan seperti yang disebutkan tadi. Ia melakukannya bukan berdasar “perintah Allah”, dan kalau pu demikian, hal itu tidak dalam bentuk tasyri’ (penetapan syari’at). Sedemikian jauh, biasanya mereka sendiri tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang pembaharu, dan orang pun baru menyadari kedudukannya sebagai seorang pembaharu mana kala yang bersangkutan telah dipanggil menghadap Allah dengan meninggalkan karya-karya besarnya.


Selanjutnya, seorang pembaharu tidak memulai sepak terjangnya barupa dakwah tentang dirinya sebagaimana yang dilakukan para Nabi, dan hal itu memang tidak boleh terjadi, sebab seorang pembaharu bukanlah orang yang ditugaskan untuk itu. Akan tetapi, semua itu merupakan akumulasi setapak demi setapak, sehingga menjadikan dirinya sebagai orang yang terbaik pada zamannya, dan ia tidak pernah merosot kembali dari posisinya ini. Dan akhirnya, mengimani dirinya sebagai seorang pemhaharu bukanlah merupakan syarat keislaman.

Dengan menarik perbedaan posisi seorang Pembaharu dengan Nabi, maka seorang Pembaharu adalah orang yang tugasnya, pada sebagian bentuknya mirip dengan tugas seorang Nabi.

Sumber: Abul A’la Maududi, Langkah-Langkah Pembaharuan Islam, Penerbit Pustaka Salman ITB, Bandung, 1984, hal: 42-45

Sumber gbr: http://www.penapembaharu.com/



No comments:

Post a Comment