YakusaBlog- Seorang “pembaharu” bukanlah seorang Nabi, dan ini pasti tidak diragukan. Akan
tetapi, karakter dan sepak terjangnya mendekati karakter dan sepak terjang yang
dimiliki para Nabi.
Abul A’la Maududi berpendapat, bahwa beberapa ciri yang pasti harus dimiliki
oleh seorang pembaharu dalam Islam adalah: Pikiran yang jernih, wawasan yang
luas, sikap yang konsisten, kemampuan menganalisa hal-hal mana yang melampaui
batas dan mana yang akan mengantarkan pada tujuan, mampu memelihara
keseimbangan; memiliki kekuatan berpikir yang sama sekali tidak terpengaruh
oleh hal-hal yang bersifat rendah dan premordial yang terus berjalan sepanjang
masa; berani dan pantang mundur dalam menghadapi tantangan zaman; memiliki
kemampuan memimpin; kemampuan ijtihad, membangun dan membina masyarakat.
Dan di atas itu semua, ia haruslah seorang Muslim yang memiliki keimanan,
pandangan, pemahaman, dan perasaan yang benar tentang Islam, yang dengan itu ia
mampu membedakan antara Islam dan jahiliyah, hatta pada hal-hal yang bersifat
parsial sekalipun.
Ia juga haruslah seorang yang mampu menjelaskan kebenaran dan memisahkannya
dari segala yang menodai sepanjang sejarah perjalanan Islam.
Itu lah ciri-ciri khusus yang tidka bisa tidak harus dimiliki oleh seorang
pembaharu. Karakter semacam ini, dalam skalanya yang lebih besar, merupakan
sisfat-sifat para Nabi dan Rasul.
Sedangkan perbedaan antara seorang pembaharu dengan Nabi yaitu, ada satu
hal yang secara prinsipil dapat dijadikan pembeda antara seorang pembaharu dengan seorang Nabi. Seorang Nabi
mengemban perintah dalam bidang pelaksanaan syari’at dari Allah, dan beliau pun
sadar sepenuhnya bahwa tugas itu betul-betul datang dari Allah.
Dengan demikian ia pastu diberi wahyu, dan memulai karyanya berupa dakwah
kenabian untuk mengajak manusia mengikutinya. Sebagai hasil dari penerimaan
maupun penolakan dakwahnya itu muncullah sikap iman dan kafir di
kalangan ummat.
Berbeda dengan itu, maka seorang pembaharu sama sekali tidak memiliki
kehormatan seperti yang disebutkan tadi. Ia melakukannya bukan berdasar “perintah
Allah”, dan kalau pu demikian, hal itu tidak dalam bentuk tasyri’ (penetapan syari’at). Sedemikian jauh, biasanya mereka
sendiri tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang pembaharu, dan orang pun
baru menyadari kedudukannya sebagai seorang pembaharu mana kala yang
bersangkutan telah dipanggil menghadap Allah dengan meninggalkan karya-karya
besarnya.
Baca juga: Perbedaan Macam-Macam Ilmuwan
Selanjutnya, seorang pembaharu tidak memulai sepak terjangnya barupa dakwah
tentang dirinya sebagaimana yang dilakukan para Nabi, dan hal itu memang tidak
boleh terjadi, sebab seorang pembaharu bukanlah orang yang ditugaskan untuk
itu. Akan tetapi, semua itu merupakan akumulasi setapak demi setapak, sehingga
menjadikan dirinya sebagai orang yang terbaik
pada zamannya, dan ia tidak pernah merosot kembali dari posisinya ini. Dan akhirnya,
mengimani dirinya sebagai seorang pemhaharu bukanlah merupakan syarat
keislaman.
Dengan menarik perbedaan posisi seorang Pembaharu dengan Nabi, maka seorang
Pembaharu adalah orang yang tugasnya, pada sebagian bentuknya mirip dengan
tugas seorang Nabi.
Sumber: Abul A’la Maududi, Langkah-Langkah
Pembaharuan Islam, Penerbit Pustaka Salman ITB, Bandung, 1984, hal: 42-45
Sumber gbr: http://www.penapembaharu.com/
Baca juga: Islam Menggantikan Komunisme dan Kapitalisme
No comments:
Post a Comment