Bang Imaduddin; Merintis Dunia Dakwah Di Kampus - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Sunday, 26 November 2017

Bang Imaduddin; Merintis Dunia Dakwah Di Kampus

YakusaBlog- Sosoknya bersahaja, tetapi tegas. Demikian kesan yang mengemuka ketika kita berjumpa dengan Bang Imad, panggilan akrab Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Dia pendakwah yang komunikatif, termasuk ketika menggunakan bahasa Inggris yang fasih. Bang Imad tak hanya dikenal sebagai pengarang buku Kuliah Tauhid, tetapi ia juga dikenal dengan sosok yang konsisten dalam perjuangan berdasarkan prinsip-prinsip ketauhidan yang diyakininya. Pilihannya untuk aktif di dunia  dakwah mengemuka ketika ia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terkhususnya di Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI).
Dia kemudian aktif membina mahasisswa Muslim di Masjid Salman, Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia juga dikenal sebagai sesepuh Departemen Teknik Elektro, dan sebagai sosok penting dalam fase formatif berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tahun 1990 dan Bank Muamalat Indonesia. Doctor Filsafat Teknik Industri dan Engineering Valution lulusan Iowa State University, Ames, Iowa, Amerika Serikat, ini juga pernah menerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Presiden B.J. Habibie, pada 13 Agustus 2000 sebagai pakar dan guru besar di bidangnya.
Bang Imad lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara 21 April 1931 dan wafat di Jakarta, 2 Agustus 2008 dalam usia 77 tahun. Ia lahir dari latar belakang keluarga Muslim yang taat. Namanya populer melalui kuliah tauhid di Masjid Salaman ITB.
HMI dan Dakwah
Pada tahun 1953, ketika pertama kali menjadi mahasiswa ITB, dia langsung masuk HMI. Setahun berikutnya, dia menjadi ketua penerimaan calon anggota baru HMI. Dia mempersyaratkan agar mereka mewawancarai dan meminta tanda tangan para ulama dan tokoh Islam di Jawab Barat. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1956, Bang Iman menjadi panitia Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) yang diselenggarakan di Bandung.
Dalam karirnya di HMI, Bang Imad beberapa kali menolak diajukan sebagai ketua. Dia lebih memilih menjadi ketua bidang penerangan dan dakwah. Tugasnya adalah mengadakan pengajian rutin untuk anggota HMI dan kegiatan peringatan hari-hari besar Islam, ia menghadirkan pembicara-pembicara dari Jakarta. Aktivitasnya di Bandung yang lebih banyak adalah bergelut dalam dunia dakwah, tidak hanya dalam lingkungan HMI. Bang Imad juga pernah diberi kesempatan untuk berceramah di Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung.
Pada Kongres HMI di Solo tahun 1966, Bang Imad terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) HMI. Dia mengajak Miftah Faridl, Ketua HMI Cabang Solo, yang lantas menjadi Dosen Agama Islam di ITB. Adapun Ketua Umum Pengurus Besar HMI (PB HMI) terpilih Nurcholish Madjid (Cak Nur). Sehingga, dengan demikian, Bang Imad banyak berinteraksi dengan Cak Nur.
Pada tahun 1968, Bang Imad diminta oleh Profesor Tubagus Sulaiman sebagai Dosen Agama Islam di ITB. Sebelumnya, pada tahun 1963, Bang Imad melanjutkan studi S2-nya ke luar negeri, Iowa State university. Pada bulan Agustus 1965, studinya telah selesai dan lantas melanjutkan ke S3 di Chicago University. Namun, setelah sempat menjalani dua semester, dia dipanggil pulang dan memilih untuk mengajar di Jurusan Elektro ITB pada tahun 1966.
Selain Miftah Faridl, Bang Imad juga mengajak Endang Saifuddin Anshary (ESA) untuk aktif di LDMI-HMI bersama dengan Nurcholish Madjid dan Sakib Mahmud. Bang Imad dan ESA turut mempersiapkan naskah Nilai-nilai Identitas Kader HMI, yang kemudian disahkan di Kongres HMI pada tahun 1969 di Malang, Jawa Timur.
Bang Imad juga punya reputasi internasional. Bang Imad aktif di Muslim Students Association for US and Canada (MSA) yang dilahirkan oleh Ahmad Totonji. Ia  juga aktif di International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO). Organisasi terakhir ini hadir pada tahun 1969 dengan Sekretris Jenderal (Sekjen) pertama kali Ahmad Totonji dan Nurcholish Madjid sebagai Wakil Sekjen. Bang Imad juga aktif di World Assembly Muslim Youth (WAMY).
Kuliah Tauhid
Melalui kuliah tauhid yang ia berikan di Masjid Salman ITB, Bang Imad menjadi populer. Pihak Masjid Salman berinisiatif merekam dan membukukan Kuliah Subuh Bang Imad pada Ramadhan 1397 H/1977 M. Isi Kuliah Subuh Bang Imad seputar ilmu tauhid, definisi Tuhan, kepercayaan kepada Tuhan dan mentauhidkan Tuhan, tauhid dan kemerdekaan, tauhid dan ikhlas serta tauhid dan konsekuensinya.
Dalam buku Kuliah Tauhid ditegaskan bahwa adanya Allah itu tak perlu dibuktikan, karena Dia inheren dalam hati manusia saat Allah menciptakan langit dan bumi. Menurutnya, manusia cenderung berpenyakit syirik: setelah mempercayai adanya Allah, manusia memiliki kecenderungan menuhankan yang lain. Maka, tugas manusia adalah membersihkan tauhidnya dari kecenderungan selain Allah. Pandangan demikian sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan atau hakikat primordial menusia yang hanif (fitrah, suci). Meskipun demikian, seseorang tak boleh memaksakan pandangan dan agamanya untuk diakui oleh orang lain. Manusia memiliki kemerdekaan untuk memilih suatu keyakinan atau agama.
Ode Baru dan ICMI
Pada masa Orde Baru (Orba), Bang Imad dikenal sebagai penceramah yang kritis. Kritikannya terhadap kebijakan pemerintah diselipkan dalam ceramah-ceramahnya. Salah satu kritik kerasnya ialah ketika ia mengatakan bahwa “orang yang mendirikan kuburan sebelum mati adalah Fir’aun.” Pada saat itu Presiden Soeharto tengah menyiapkan Astana Giri Bangun, komplek pemakamannya. Atas ceramahnya itu ia dimintai keterangan oleh pihak kejaksaan. Pada tanggal 23 Mei 1978, usai berceramah di Masjid Salam ITB, Bang Imad ditangkap aparat karena isi pengajiannya. Ia diberangkatkan ke Jakarta, dimasukkan kepenjara yang lokasinya dekat Taman Mini Indonesia Indah.
Setelah keluar dari penjara, ia berangkat ke Amerika Serikat mengambil S3 di Iowa State University. Setelah meraih gelar Doktor, pada tahun 1986, ia pulang ke Indonesia. Tetapi, ia sudah tak punya jabatan apa pun di ITB. Karenanya ia lantas aktif di Yayasan Pembina Sari Insani (YAASIN), dengan wakil ketuanya Ir. Hatta Radjasa.
Pada akhir tahun 1980-an, Bang Imad sibuk menggagas penyatuan para cendekiawan Muslim. Tentu saja prosesnya berliku-liku. Hingga akhirnya, sejarah memberi momentum, ketika ICMI berdiri dan dipimpin oleh B.J. Habibie di Universitas Brawijaya Malang, pada tahun 1990. Masa ICMI dan setelahnya ditandai oleh perubahan hubungan antara Islam dan Negara yang semakin harmonis.
Tentang ICMI ini, Sulastomo menulis, “Bang Imad ikut mempelopori berdirinya ICMI. Di sini tampaknya ia mendapatkan tempat untuk menyampaikan segala apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Ia melaukan lompatan, bahkan di kalangan elite dan pemerintaha, yang dulu menilainya sebagai kelompok keras”. Namun, jauh daripada itu, Sulastomo menuliskan lagi, “Mengenal Bang Imad bisa dikatakan mengenal seorang tokoh yang sangat teguh memegang prinsip. Prinsip yang dipegangnya dikatakan apa adanya.”
Bagaimanapun, Bang Imad telah berjasa besar dalam upaya mendekatkan antara sains dengan Islam, antara pribadi saintis Muslim dengan Islam itu sendiri. Bang Imad telah melakukan rintisan besar dalam dunia dakwah di kampus.[]
Sumber bacaan: M. Alfan Alfian, dkk (ed), Mereka Yang Mencipta Dan Mengabdi, PT Penjuru Ilmu Sejati, Bekasi, 2016, Hal: 129-134.
Ket,gbr: Muhammad Imaduddin Abdulrahim
Sumber gbr: http://www.tribunnews.com/

No comments:

Post a Comment