YakusaBlog- Sosoknya
bersahaja, tetapi tegas. Demikian kesan yang mengemuka ketika kita berjumpa
dengan Bang Imad, panggilan akrab Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Dia pendakwah
yang komunikatif, termasuk ketika menggunakan bahasa Inggris yang fasih. Bang Imad
tak hanya dikenal sebagai pengarang buku Kuliah
Tauhid, tetapi ia juga dikenal dengan sosok yang konsisten dalam perjuangan
berdasarkan prinsip-prinsip ketauhidan yang diyakininya. Pilihannya untuk aktif
di dunia dakwah mengemuka ketika ia
aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terkhususnya di Lembaga Dakwah
Mahasiswa Islam (LDMI).
Dia kemudian
aktif membina mahasisswa Muslim di Masjid Salman, Institut Teknologi Bandung
(ITB). Ia juga dikenal sebagai sesepuh Departemen Teknik Elektro, dan sebagai
sosok penting dalam fase formatif berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) pada tahun 1990 dan Bank Muamalat Indonesia. Doctor Filsafat
Teknik Industri dan Engineering Valution
lulusan Iowa State University, Ames,
Iowa, Amerika Serikat, ini juga pernah menerima penghargaan Bintang Mahaputra
Utama dari Presiden B.J. Habibie, pada 13 Agustus 2000 sebagai pakar dan guru
besar di bidangnya.
Bang Imad
lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara 21 April 1931 dan wafat di
Jakarta, 2 Agustus 2008 dalam usia 77 tahun. Ia lahir dari latar belakang
keluarga Muslim yang taat. Namanya populer melalui kuliah tauhid di Masjid
Salaman ITB.
HMI dan Dakwah
Pada tahun
1953, ketika pertama kali menjadi mahasiswa ITB, dia langsung masuk HMI. Setahun
berikutnya, dia menjadi ketua penerimaan calon anggota baru HMI. Dia mempersyaratkan
agar mereka mewawancarai dan meminta tanda tangan para ulama dan tokoh Islam di
Jawab Barat. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1956, Bang Iman menjadi panitia
Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) yang diselenggarakan di Bandung.
Dalam karirnya
di HMI, Bang Imad beberapa kali menolak diajukan sebagai ketua. Dia lebih
memilih menjadi ketua bidang penerangan dan dakwah. Tugasnya adalah mengadakan
pengajian rutin untuk anggota HMI dan kegiatan peringatan hari-hari besar Islam,
ia menghadirkan pembicara-pembicara dari Jakarta. Aktivitasnya di Bandung yang
lebih banyak adalah bergelut dalam dunia dakwah, tidak hanya dalam lingkungan
HMI. Bang Imad juga pernah diberi kesempatan untuk berceramah di Radio Republik
Indonesia (RRI) Bandung.
Pada Kongres
HMI di Solo tahun 1966, Bang Imad terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Lembaga
Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) HMI. Dia mengajak Miftah Faridl, Ketua HMI Cabang
Solo, yang lantas menjadi Dosen Agama Islam di ITB. Adapun Ketua Umum Pengurus
Besar HMI (PB HMI) terpilih Nurcholish Madjid (Cak Nur). Sehingga, dengan
demikian, Bang Imad banyak berinteraksi dengan Cak Nur.
Pada tahun
1968, Bang Imad diminta oleh Profesor Tubagus Sulaiman sebagai Dosen Agama
Islam di ITB. Sebelumnya, pada tahun 1963, Bang Imad melanjutkan studi S2-nya
ke luar negeri, Iowa State university.
Pada bulan Agustus 1965, studinya telah selesai dan lantas melanjutkan ke S3 di
Chicago University. Namun, setelah
sempat menjalani dua semester, dia dipanggil pulang dan memilih untuk mengajar
di Jurusan Elektro ITB pada tahun 1966.
Selain
Miftah Faridl, Bang Imad juga mengajak Endang Saifuddin Anshary (ESA) untuk
aktif di LDMI-HMI bersama dengan Nurcholish Madjid dan Sakib Mahmud. Bang Imad
dan ESA turut mempersiapkan naskah Nilai-nilai Identitas Kader HMI, yang
kemudian disahkan di Kongres HMI pada tahun 1969 di Malang, Jawa Timur.
Bang Imad
juga punya reputasi internasional. Bang Imad aktif di Muslim Students Association for US and Canada (MSA) yang dilahirkan
oleh Ahmad Totonji. Ia juga aktif di International Islamic Federation of Student
Organization (IIFSO). Organisasi terakhir ini hadir pada tahun 1969 dengan
Sekretris Jenderal (Sekjen) pertama kali Ahmad Totonji dan Nurcholish Madjid
sebagai Wakil Sekjen. Bang Imad juga aktif di World Assembly Muslim Youth (WAMY).
Kuliah Tauhid
Melalui kuliah
tauhid yang ia berikan di Masjid Salman ITB, Bang Imad menjadi populer. Pihak Masjid
Salman berinisiatif merekam dan membukukan Kuliah Subuh Bang Imad pada Ramadhan
1397 H/1977 M. Isi Kuliah Subuh Bang Imad seputar ilmu tauhid, definisi Tuhan,
kepercayaan kepada Tuhan dan mentauhidkan Tuhan, tauhid dan kemerdekaan, tauhid
dan ikhlas serta tauhid dan konsekuensinya.
Dalam buku Kuliah Tauhid ditegaskan bahwa adanya
Allah itu tak perlu dibuktikan, karena Dia inheren
dalam hati manusia saat Allah menciptakan langit dan bumi. Menurutnya, manusia
cenderung berpenyakit syirik: setelah mempercayai adanya Allah, manusia
memiliki kecenderungan menuhankan yang lain. Maka, tugas manusia adalah
membersihkan tauhidnya dari kecenderungan selain Allah. Pandangan demikian
sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan atau hakikat primordial menusia yang hanif (fitrah, suci). Meskipun demikian,
seseorang tak boleh memaksakan pandangan dan agamanya untuk diakui oleh orang
lain. Manusia memiliki kemerdekaan untuk memilih suatu keyakinan atau agama.
Ode Baru dan ICMI
Pada masa
Orde Baru (Orba), Bang Imad dikenal sebagai penceramah yang kritis. Kritikannya
terhadap kebijakan pemerintah diselipkan dalam ceramah-ceramahnya. Salah satu
kritik kerasnya ialah ketika ia mengatakan bahwa “orang yang mendirikan kuburan
sebelum mati adalah Fir’aun.” Pada saat itu Presiden Soeharto tengah menyiapkan
Astana Giri Bangun, komplek pemakamannya. Atas ceramahnya itu ia dimintai
keterangan oleh pihak kejaksaan. Pada tanggal 23 Mei 1978, usai berceramah di
Masjid Salam ITB, Bang Imad ditangkap aparat karena isi pengajiannya. Ia diberangkatkan
ke Jakarta, dimasukkan kepenjara yang lokasinya dekat Taman Mini Indonesia
Indah.
Setelah keluar
dari penjara, ia berangkat ke Amerika Serikat mengambil S3 di Iowa State University. Setelah meraih
gelar Doktor, pada tahun 1986, ia pulang ke Indonesia. Tetapi, ia sudah tak
punya jabatan apa pun di ITB. Karenanya ia lantas aktif di Yayasan Pembina Sari
Insani (YAASIN), dengan wakil ketuanya Ir. Hatta Radjasa.
Pada akhir
tahun 1980-an, Bang Imad sibuk menggagas penyatuan para cendekiawan Muslim. Tentu
saja prosesnya berliku-liku. Hingga akhirnya, sejarah memberi momentum, ketika
ICMI berdiri dan dipimpin oleh B.J. Habibie di Universitas Brawijaya Malang,
pada tahun 1990. Masa ICMI dan setelahnya ditandai oleh perubahan hubungan
antara Islam dan Negara yang semakin harmonis.
Tentang ICMI
ini, Sulastomo menulis, “Bang Imad ikut mempelopori berdirinya ICMI. Di sini
tampaknya ia mendapatkan tempat untuk menyampaikan segala apa yang dipikirkan
dan dirasakannya. Ia melaukan lompatan, bahkan di kalangan elite dan
pemerintaha, yang dulu menilainya sebagai kelompok keras”. Namun, jauh daripada
itu, Sulastomo menuliskan lagi, “Mengenal Bang Imad bisa dikatakan mengenal
seorang tokoh yang sangat teguh memegang prinsip. Prinsip yang dipegangnya
dikatakan apa adanya.”
Bagaimanapun,
Bang Imad telah berjasa besar dalam upaya mendekatkan antara sains dengan
Islam, antara pribadi saintis Muslim dengan Islam itu sendiri. Bang Imad telah
melakukan rintisan besar dalam dunia dakwah di kampus.[]
Sumber bacaan: M.
Alfan Alfian, dkk (ed), Mereka Yang
Mencipta Dan Mengabdi, PT Penjuru Ilmu Sejati, Bekasi, 2016, Hal: 129-134.
Ket,gbr: Muhammad Imaduddin Abdulrahim
Sumber gbr: http://www.tribunnews.com/
No comments:
Post a Comment