YakusaBlog- Nanang Tahqiq, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
pernah menulis kritikannya kepada HMI dengan judul tulisan Bye-Bye HMI. Dapat Anda lihat di dalam bukunya Agussalim Sitompul
yang berjudul HMI Mengayuh di Antara Cita
dan Kritik. Ia mengatakan:
“Ada
tiga kekuatan kunci saling bertaut, telah menciptakan HMI begitu memukau,
masing-masing Latihan Kader (LK), Tradisi Intelektual, dan Independensi. Ketiga kekuatan itu
merupakan kesatuan tidak tercerai dan utuh, elemen-elemen pokok yang saling
menunjang dan membangun basis perkaderan yang tangguh. Lewat bahasa HMI, ketiga
unsur tersebut ditujukan demi meraih tujuan HMI. Demikian lewat tiga unsur itu,
HMI kemudian dipertimbangkan sebagai gerakan pembaharu. Setelah 49 tahun
(sekarang 70 tahun-peny) sejak HMI didirikan 5 Februari 1947, ada baiknya
dukungan HMI ditimbang-timbang lagi, sembari mengukur apresiasi maupun
prestasi, mengingat banyaknya perubahan terjadi. Teristimewa ketiga kunci
kekuatan itu tidak efektif lagi.”
Agussalim Sitompul dalam bukunya 44 Indikator Kemunduran HMI, berpendapat terkait kritikan tersebut
di atas, bahwa Nanang Tahqiq mengambil kesimpulan HMI kehilangan nama (tuah
atau kekuatan batin), karena ketiga kunci kekuatan HMI dianggap tidak sakti
lagi.
Dalam tulisan saya ini, tidak lagi membahas tentang apa
itu latihan kader, tradisi intelektual dan independensi. Mungkin di lain
kesempatan dapat kita bicarakan. Atau Anda juga dapat membacanya di media-media
yang lain. Akan tetapi, seya hendak bermaksud membahas bagaimana kunci kekuatan
HMI saat ini, apakah redup atau terang? Walaupun dengan tulisan sederhana dan
singkat. Gitu loo maksud Ane.
Menurut saya, kritikan Nanang Tahqiq itu banyak benarnya.
Tiga kekuatan yang dimaksudkannya itu telah membuktikan bahwa HMI dapat
menunjukkan kualitas dirinya sehingga ia memukai, dipertimbangkan sebagai
gerakan pembaharu dari kaum muda, dan wadah perkaderan anak-anak bangsa yang
beriman, berilmu dan beramal. Lewat pelatihan di HMI, tradisi intelektual dan
independensinya, insya Allah, tercipta
semuanya. Dan sangat kita rasakan manfaatnya sebelum HMI kontemporer mengalami
kemunduran.
Bagaimanakah
Sekarang ?
Seperti yang dikatakan di atas tadi: “Kekuatan HMI tidak
sakti lagi”, saya sangat sependapat sekali dengan pernyataan tersebut saat ini.
Kunci-kunci kekuatan HMI sebagai organisasi perkaderan yang menciptakan
kader-kader yang berkualitas telah rapuh dan memudar. HMI kurang
dipertimbangkan lagi secara kualitas. Adapun ia (HMI) dipertimbangkan itu
karena untuk “kepentingan” sesuatu kelompok. Jujur saja saya katakan, sering
HMI diperdayakan untuk mobilisasi massa politik praktis. HMI kontemporer kurang
terdengar gerakan-gerakan intelektualnya di semua aspek masyarakat. Nah, yang
lebih ironi lagi independensi HMI telah digadaikan.
Agussalim Sitompul berpendapat yang menafsirkan kritikan
Nanang Tahqiq, supremasi HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa yang
mampu menyelenggarakan proses perkaderan lewat LK yang mumpuni lantaran
cara-cara kaderisasi HMI kini telah juga dilakukan oleh banyak organisasi lain.
HMI tidak mampu menciptakan metode baru (sesuai dengan tuntutan masa-peny).
Mengenai tradisi intelektual saat ini jauh berubah
menurun drastis secara kualitas, sebelumnya para kader HMI pernah mengharu biru
di dunia intelektual Indonesia secara politik, sosial budaya, dan ekonomi. Nah,
sekarang bagaimana? Saat ini tradisi intelektual kita telah redup. Banyak
aktivis kita lebih bersemangat pada struktural ketimbang kepada tradisi
intelektual. Yang lebih miris lagi, tradisi-tradisi yang berkembangan pesat di
HMI adalah tradisi hedonisme, feodalisme dan kapitalistik. Mayoritas telah
terpengaruh dengan dunia modern secara fisik-materialistik.
Masalah independensi, tentunya sudah Anda rasakan dan
melihatnnya. Mayoritas kader-kader kita belum memahami konsep independensis di
HMI sehingga tidak teraplikasikan dalam hidupnya sehari-hari. Akan tetapi, ada juga
yang sudah mengetahui tentang konsep independensi HMI. Seorang kader atau
sekelompok kader itu tetap melanggarnya
kemudian menggadaikannya demi kepentingan nisbi dan nafsu materialistik dan
kesenangan belaka. Mungkin Anda lebih mengerti ralitasnya sekarang.
Apa
yang Harus Dilakukan ?
Tentunya yang kita lakukan adalah menjaga dan menguatkan
kembali kekuatan-kekuatan di HMI. Kekuatan-kekuatan yang dimaksud bukan
kekuatan secara pengertian fisik, bukan otot yang kuat dan alat persenjataa
perang. Kita tidak butuh bom, karena kita bukan teroris. Kita tidak butuh
pedang besi, kita hanya butuh pedang iman dan ilmu.
Selain tiga kekuatan yang harus kita jaga seperti yang
disebutkan tadi, saya ingin mengajak kepada kita semua, seluruh kader HMI, mari
kita perkuat keagamaan kita dan ukhuwah
Islamiayah. Baik secara pemahaman dan juga praktiknya. Dengan memperkuat
keagaaman kita dan ukhuwah Islamiayah,
secara otomatis segala sendi-sendi kehidupan akan kuat. Karena dengan kekuatan
ini, insya Allah kita mendapat
ridho-Nya.
Mari memahami lagi lebih dalam tentang nilai-nilai
kebaikan yang ada di HMI. Mempertahankan dan melanjutkan tradisi-tradisi
positif yang pernah dibangun HMI tanpa menyampingkan kemajuan zaman. Kembali bangkit
dan jayanya HMI itu ada di tangan kader-kadernya lewat usaha yang benar-benar
dan baik (amal shaleh) demi mengharap
ridho Allah Swt. semata.[]
Penulis: Ibnu Arsib Ritonga
Kader HMI Cabang Medan
Sumber gambar ilustrasi: https://id.aliexpress.com/
____________________________________________________________________________________________________________
*Kirim tulisan teman-teman ke YakusaBlog. Alamat email:yakusablog@gmail.com (tulisan dalam file Microsoft Word dengan maksimal 800 kata).
Pesan kami: Perbanyaklah membaca dan menulis. Serta pegang teguhlah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. (YakusaBlog)
No comments:
Post a Comment