YakusaBlog- Sama-sama menggunakan embel-embel Islam dibelakangnya, apakah memiliki
makna yang sama? Kedua ungkapan tersebut untuk khalayak ramai sudah sering
didengar, namun untuk ungkapan pertama hanya kalangan tertentu yang sering
mendengar memaknai sampai dengan verbalisme belaka.
Tidak beda dengan Pancasila yang merupakan ideologi dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sering diucapkan namun tidak diterapkan. Apakah orang yang menodai
agama itu percaya kepada Ketuhanan Yang Maha Esa? Apakah yang melakukan
penggusuran dan pemutusan air serta listrik itu memiliki kemanusiaan yang adil
dan beradab? Apakah orang yang selalu membuat irisan dan selalu mengangkat isu
Suku, Aagama, Ras dan Adat (SARA) itu mengedapankan persatuan Indonesia?
Yang berkembang terakhir ini Pancasila dijadikan “alat” untuk menghujat
golongan tertentu seperti tidak Pancasilais, tidak mengedapankan ke-bhinneka-an,
dan hujatan lain menggunakan ideologi negara. Padahal belum tentu golongan yang
di vonis tersebut seperti itu, bahkan yang menghujatlah perlu dipertanyakan
sebatas mana mereka mengabaikan Pancasila. Penggunaan Pancasila sebagai alat
penghujat sangat berbahaya, sebab ideologi yang dipakai untuk memusuhi warga
negara menciptakan rezim totaliter, sedangkan ideologi yang sama sekali
diabaikan menciptakan anarki. Keadaan seperti ini membuat agama mulai mengintervensi
wilayah ideologi dan ini disebut sebagai kemunduran.
Sebelum Revolusi Prancis, agama dan gerejalah yang mengatur kehidupan bermasyarakat,
sampai di hembuskannya Liberalisme
berujung demokrasi merupakan pemikiran yang terpencar dari akidah pemisahan
agama dari kehidupan (sekularisme),
telah menjauhkan agama dan gereja dari kehidupan dan negara selanjutnya
menjauhkan agama dari pembuatan perundang-undangan, inilah yang terjadi saat
ini.
Kembalinya agama meng-intervensi ideologi tidak lepas dari pengelola
(penguasa) negara yang tidak menerapkan ideologi tersebut sehingga muncul
gerakan agama (Islam) sebagai kekuatan politik informal saat ini, yang
menginginkan revolusi apabila negara tidak mampu menjalankan hukum terhadap
pengabaian ideologi (penoda agama), gerakan ini menyitir selogan partai politik
Islam “NO”, kekuatan politik Islam “YES”, sebab gerakan ini tidak dimotori oleh
partai politik Islam.
Dalam menjalankan gerakannya, gerakan Islam masih menganut cara-cara lama
dan masih memerlukan stimulus (perlu disakiti), sebab dalam pandangan segenap
orang menganggap agama (Islam) adalah tradisi, sehingga membela Islam menjadi
sama dengan membela tradisi, terkesan kekuatan Islam adalah kekuatan
tradisional yang berkesan reaksioner.
Terdapat beberapa unsur dalam gerakan reaksioner tersebut yang dilihat dari
berbagai macam pendekatan seperti (1) Sosial-Politis dengan warna ideologi
Islam, kepentingan Islam adalah kredonya, solidaritas Islam sebagai
pengikat-nya. Mereka merupakan pionir penggerak dalam gerakan Islam. contoh
belakangan ini merekalah yang paling terdepan menuntut agar hukum ditegakkan
terhadap pengabaian ideologi (penoda agama), (2) Kultural kecendrungan
menampilkan sosok Islam dalam kehidupan sehari-hari, mereka kebanyakan kelompok-kelompok
yang tersebar dan tidak terikat namun secara kesadaran ada yang bereaksi ada
yang tidak, (3) Sosio-Kultur memiliki ikatan kultural yang kuat secara
individual dan kelompok juga ikatan sosial sesama mereka, sehingga apabila ada
dari kalangan mereka yang di cerca mereka baru bereaksi.
Seorang intelektual muslim yang dalam berfikir bernafaskan Islam yaitu
bertitik tolak dari dan melakukan pemikiran menurut garis ajaran-ajaran agama
Islam harus menangkap fenomena yang terjadi belakangan ini, khususnya gerakan Islam
yang terjadi dari berbagai pendekatannya, sehingga dapat merangkul ketiga
elemen ini dengan menawarkan pandangan hidup yang berazaskan Islam (ideologi
islam).
Kebanyakan gerakan Islam mementingkan jumlah daripada mutu, dan itu tidak
dapat disangkal apabila dapat menyatukan ketiga pendekatan tadi dapat menjamin
tercapainya tujuan perjuangan (ideologi Islam), tetapi dapatkah persatuan itu
terwujud secara dinamis dan didasari oleh ide-ide dinamis sehingga menjadi
kekuatan yang dinamis, ingat tidak ada tindakan revolusioner tanpa teori-teori
revolusioner.
Ide keharusan berideologi adalah konsekuensi dari pengangkatan manusia
menjadi khalifah di muka bumi, karena
ideologi berfungsi untuk mengatur bumi (negara & manusia). Dalam mengatur bumi
tindakan khalifah harus sesuai dengan
instruksi Allah, batasan yang ditetapkan Allah, dan kehendak Allah dimana itu
semua diatur dalam bentuk nilai yang mendasar. Nilai dasar tentang kehidupan
bernegara itu abadi karena terkandung dalam Qur’an dan Hadist, yang berubah itu
konstitusi merupakan aktualisasi dan perumusan dari nilai dasar itu.
Ideologi Islam (Tauhid, Risalah, Khilafah) sebagian kalangan masih terasa
abstrak untuk dijadikan ideologi, namun sebagai intelektual profesional yang
islami harus dapat membaca dan menyoroti ideologi yang sesuai dengan ajaran
Islam dan dapat ditetapkan dalam bentuk nyata dalam sebuah ide.[]
Penulis: Ias Siregar
Alumnus Fakultas Pertanian UISU
Baca juga artikel:NDP HMI: Menangkal Bahaya Islam Apologetik
No comments:
Post a Comment