Piodalan dan Rezim Penghianat UUD 45 - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Sunday, 17 November 2019

Piodalan dan Rezim Penghianat UUD 45




YakusaBlog- Soal urusan ibadah, tidak ada negara paling aneh di dunia kecuali Republik Indonesia (RI). Bersama Pakistan, Afghanistan, dan Irak, RI masuk kategori negeri yang tak menjamin kelompok minoritas bebas mengekspresikan keyakinannya. Lalu, orang-orang beralasan, ‘salah sendiri kegiatannya tak berizin. Warga kan sudah banyak protes, kenapa masih berjalan ritualnya?.’

Sungguh argumen semacam itu lebih aneh lagi. Sejak kapan manusia menyembah Tuhan butuh izin dari tetangga? Negara tidak boleh ikut campur urusan yang sangat intim semacam itu. Spiritualitas adalah hubungan pemeluk dengan yang diyakininya. Tidak ada urusannya dengan orang lain. Hubungan manusia dengan Tuhan tidak ada calonya. Beribadah bukan seperti beli tiket kereta api, tidak ada joki agama.

Pada 10 November kemarin, kita ramai-ramai memasang foto, simbol, semboyan kepahlawanan. Di bulan sebelas, semua sok merasa anak bangsa nasionalis yang siap mati berkorban demi negara. Ya, nenek moyang kita pejuang. Mereka berdarah-darah mengusir penjajah. Tak peduli beragama Islam, Kristen, Katolik, atau Hindu. Dahulu semua manusia yang cinta tanah air merdeka, semua berkorban untuk melihat negeri ini bebas dari penindasan bangsa asing.

Dengan kobaran nyala persaudaraan sesama anak bangsa, leluhur membentuk negara dengan prinsip yang adil dan menjunjung tinggi hak yang sama bagi setiap warga negara. Kejawen, Budha, Baha’i, Ahmadiyah, Sunda Wiwitan, semua punya hak konstitusional sama. Untuk menjamin komitmen itu, dibubuhkan dalam Pasal 28E UU 1945. ‘Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.’

Di dalam negara demokrasi, HAM adalah nilai tertinggi yang harus dipegang pejabat publik. Pemerintah yang tidak menjalankan konstitusi negara adalah sama dengan berhianat pada negara. Sebab apa gunanya isi konstitusi bila tidak untuk dijalankan? Di Pasal 7A UUD 1945, presiden yang berhianat pada negaranya sudah memenuhi syarat untuk dimakzulkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat RI.

Persekusi dan pembubaran paksa acara doa wafatnya Ki Ageng Mangir atau ritual Piodalan di Dusun Mangir Lor, Desa Mangir, Pajangan, Kabupaten Bantul adalah pelanggaran berat hak asasi manusia. Pelanggaran berat karena orang mau berdoa pada apa yang diyakininya kok malah diganggu, digagalkan. Bayangkan kalau umat islam dilarang sholat di masjid, pasti emosi tumpah ruah dimana-mana. Ini karena korbannya minoritas, mereka tak berani melawan, apalagi mengamuk.

Andai orang Swiss atau Prancis tahu ada sekelompok orang mau ibadah dibubarkan oleh warga lain, pasti ditertawakan. Mereka akan mencibir orang Indonesia aneh, kurang kerjaan, rese, jahat, dan tidak beradab. Orang Islam mau bersujud seratus kali dalam sehari kan juga silakan. Kenapa minoritas dilarang? Mau mereka duduk sila delapan jam, melafalkan bunyi-bunyian, bakar kayu, bawa bunga-bungaan, atau guling-guling di tanah, ya biarkan saja. Itu hak mereka. Itu urusan dia punya badan dan rumah.

Kalau orang rebutan lapak parkir, wajar karena uang yang didapat jelas. Lha kalau ada sekelompok orang rebutan surga, rebutan Tuhan, dimana akal sehatnya? Manusia kan berhak menyembah apapun. Tiap orang bisa memilih apapun untuk di-tuhan-kan. Kenapa mesti iri pada keyakinan orang lain? Dan apa guna polisi kalau gerombolan penyerbu malah ditemani menyerbu. Justru kepolisian dibentuk supaya penyerang dihadang, agar korban tenang dan hak-haknya tidak dirampas.

Sejak reformasi, entah sudah berapa ribu kali penyerangan terhadap kegiatan minoritas dibiarkan. Pada 11 November 2019, Setara Institute mencatat selama 12 tahun terakhir terjadi 2.400 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dan hampir tak ada pelaku yang dihukum sesuai seharusnya. Dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas polisi adalah ‘memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.’

Kepolisian dibentuk sebagai penerjemah tugas penindakan hukum dan penegak nilai-nilai konstitusi dalam kehidupan sehari-hari. Kalau petugas malah menemani gerombolan ormas menyerbu kegiatan keagamaan kelompok minoritas, lha apa gunanya digaji negara? Polisi itu wasit sosial, netral, adil, tak boleh bersekutu dengan pihak tertentu. Anggota DPR harus berteriak ketika rakyat yang diwakilinya hidup dalam ancaman dan persekusi. Mana suara Bupati? Mana perlindungan dari Kapolres Bantul?

Kita tak bisa membayangkan bagaimana perasaan minoritas di negeri ini. NKRI ini negara merdeka, berdaulat, punya hukum sebagai aturan main berbangsa. Pemimpinnya ber-KTP Indonesia. Polisinya orang Indonesia asli. Tapi kenapa hanya untuk menyembah apa yang diyakini, minoritas merasa tak aman? Mosok kok menyembah Tuhan butuh izin warga sekitar. Apa urusannya tetangga dengan kebaktian orang dengan sesembahannya?

Di tanah air ini sudah tidak ada lagi tentara Belanda, atau Jepang. Tapi kenapa minoritas hidup dalam ancaman? Kalau sudah merasa punya Tuhan sendiri, kenapa sewot orang lain punya Tuhan? Bukankah Tuhan seorang beda dengan Tuhan orang lain? Kalau seorang sudah punya istri, tetangga mau berhubungan badan dengan istrinya sendiri ya biarkan saja. Kenapa iri? Tidak tenang? Tak yakin Tuhan milikmu benar? Kenapa ikut campur? Kenapa mengganggu-ganggu?

Semua pengganggu, pengacau, sok bertindak punya otoritas, harus dihukum berat agar tak ada lagi HAM di tanah air ini yang diinjak-injak. Bila ada gerombolan ormas yang membajak fungsi petugas negara, mestinya kepolisian tersinggung berat. Punya hak apa ormas memasuki pekarangan orang lain tanpa surat legal dari pengadilan? Tak pernah ada ibadah yang melanggar hukum. Justru yang menyerbu dan mempersekusi itulah pelanggar hukum.

Pemerintahan yang diam warganya dilarang beribadah adalah pembiaran atas pelanggaran HAM. Sikap acuh rezim atas penyerangan properti orang lain sama saja menafikan perintah UUD 1945. Tak menjalankan bunyi konstitusi negara berarti berhianat atas tujuan didirikannya negara Indonesia. Di negara yang presidennya mengaku ‘Orang Baik,’ mestinya kasus Piodalan tak pernah terjadi. Bila tak mau jadi penghianat UUD 1945, presiden harus tegas dan menyeret semua penyerang ke pengadilan.[]


Penulis: Muhammad Mualimin, S.H., (Direktur LAWAN Institute).

No comments:

Post a Comment