YakusaBlog- Sepanjang sejarah peradaban ummat manusia, dinamika hubungan rakyat dengan
negara sering mengalami ketegangan. Banyak teori-teori negara klasik mengatakan
bahwa negara memiliki kekuasaan penuh (absolut) atas suatu daerah atau wilayah
termasuk terhadap setiap orang atau entitas manusia dalam suatu wilayah
tersebut. Atau dengan kata lain, dalam teori negara klasik, negara memiliki kuasa
untuk mengatur dan memaksa rakyat agar tunduk dan juga patuh pada kuasa negara.
Sangat diakui memang berdirinya suatu negara tentunya memiliki dan bagian
dari ciri suatu negara adalah kedaulatan, tetapi dalam kondisi yang kita
sebutkan di atas tadi, hanya negara yang berdaulat dan berkuasa, rakyat
seringkali tidak berdaya terhadap kuasa negara.
Jika kita ambil pendapatnya Jellinek, kedaulatan negara adalah sebagai
pangkal kekuasaan. Adanya hukum karena adanya negara, hukum merupakan
penjelmaan daripada kemauan negara. Negara adalah satu-satunya sumber hukum,
oleb sebab itu kekuasaan tertinggi harus dimiliki oleh negara. (Saiful Anwar,
2004:95)
Kedaulatan negara atau kekuasaan negara dipegang oleh penguasa. Dalam konteks
ini penguasa itu adalah raja atau pemegang kekuasaan tertinggi di suatu negara,
sering juga disebut kekuasaan pemerintah. Lord Acton berpendapat, karena
kekuasaan itu dijalankan oleh manusia tentunya melekat suatu kelemahan. Dari kelemahan
itu, sering sekali kekuasaan itu cenderung kepada penyalahgunaan kekuasaan.
(Dani Sintara, 2007:V)
Oleh karena itu, Hamdan Zoelva
berpendapat, ketika kuasa negara melalui penguasa, raja atau melalui aparatnya
yang menindas, maka terjadilah perlawanan dari rakyat terhadap negara melului
berbagai pemberontakan, perlawanan, ketidakpatuhan sosial (Social disobedience) yang melahirkan banyak revolusi sosial dalam
hubungan antara negara dan rakyat. (Muhammad Yasin dan Herlambang (ed),
2014:xvii)
Dari hasil perlawanan rakyat tersebut maka melahirkan berbagai konsep-konsep
hubungan antara rakyat dan negara, kemudian membatasi kekuasaan negara, antara
lain seperti konsep: pemisahan kekuasaan, hak asasi manusia, demokrasi,
pelaksanaan kekuasaan berdasarkan hukum, lembaga peradilan yang diindependen
dan lain-lain yang saling kait mengkait dan terangkum dalam konsep negara
hukum.
Semua konsep-konsep tersebut menurut Hamdan Zoelva, mantan Hakim Konstitusi
Negara Republik Indonesia, dimaksudkan dalam rangka pembatasan kekuasaan negara
dan membangun hubungan yang benar antara rakyat dan negara. Landasan utama
konsep hubungan rakyat dengan negara yang demikian didasarkan pada prinsip,
bahwa karena rakyat dan untuk rakyatlah negara keadaan. Teori ini pun disebut
sebagai teori kedaulatan rakyat.
Perlu kiranya diketahui, konsep pemisahan kekuasaan negara pada dasarnya
dilatarbelakangi oleh adanya kekuasaan tunggal dalam negara yang berada di
tangan raja, sehingga raja menjadi sangat berkuasa dan cenderung
sewenang-wenang.
Maka, untuk membatasi kekuasaan negara yang tunggul itu, dibangunlah konsep
pemisahan kekuasaan negara, agar terjadi pembatasan kekuasaan antara lembaga
negara, yaitu lembaga perwakilan sebagai pembentuk undang-undang (legislatif),
eksekutif (raja atau presiden) sebagai pelaksana undang-undang, serta
pengadilan yang mengawasi jalannya undang-undang (yudikatif). Hal ini senada
dengan doktrin para sarjana, seperti J.J. Rousseau, Montesquieu dan Jhon Locke,
yang mendukung kekuasaan berada ditangan rakyat, kemudian kekuasaan itu
diberikan kepada pemerintah, akan tetapi kedaulatan berada di rakyat. Dalam konteks
ini, doktrin Montesquieu dalam konsep Trias
Politica ( Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) lebih banyak dipakai. Walaupun
belakangan hari, setelah perkembangan ketatanegaraan diberbagai, tidak memakai
sepenuhnya pemisahan, tapi memakai pembagian. Seperti Indonesia, memakai
pembagian lembaga pemerintahan.
Selanjutnya, perlunya pembatasan kekuasaan negara agar tidak bertindak
sewenang-wenang adalah terkait hak asasi manusia. Hal ini menurut Hamdan,
menjadi landasan etis berlakunya norma hukum yang menempatkan rakyat dalam
posisi yang utama dalam praktek hubungan penguasa dengan negara. Akan tetapi,
mayoritas rakyat belum mengetahui ini, dan rakyat merasa bahwa dirinya berada
dibawah “ketiak” penguasa.
Kemudian, perlunya membatasi kekuasaan negara oleh penguasa (raja atau
pemerintah) yang cenderung pada tindakan sewenang-wenang untuk mewujudkan
demokrasi. Suatu negara yang kedaulatan berada di tangan rakyat indakator
terbesarnya adalah demokrasi. Konsep demokrasi, menjadi landasan penyelenggaraan
pemerintahan dalam suatu negara. Karena negara demokrasi adalah pemerintahan
oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Konsep negara demokrasi ini
menempatkan negara dan penguasa dalam kendali rakyat serta penguasa
bertanggungjawab kepada rakyat.
Yang terakhir, hal yang paling terpenting untuk membatasi kekuasaan negara
atau penguasa oleh rakyat, dan rakyat menjadi pemegang kedaulatan tertinggi,
maka rakyat harus mempunyai alat. Nah itu, alat yang paling kuat untu membatasi
kekuasaan negara atau penguasa adalah hukum.
Hukum yang dimaksudkan adalah hukum yang adil dengan landasan etis yang
berdasarkan pada konsep hak asasi manusia dan dilahirkan dengan proses yang
demokratis, bukan atas kehendak atau kemauan penguasa. Supaya alat rakyat
tersebut menjadi kuat, lembaga peradilan (yudikatif) harus independen. Tidak lumpuh
akan kekuasaan penguasa atau pengaruh mereka yang memiliki kekuasaan dalam
suatu negara.
Dengan demikian pembatasan kekuasaan negara atau penguasa harus dibatasi. Tujuannya
adalah supaya tidak terjadi tindakan kesewenang-wenangan oleh penguasa. Supaya tidak
terjadi penindasan oleh sekelompok penguasa kepada rakyat. Dan juga, rakyat
menjadi pemegang penuh kekuasaan dan kedaulatan dalam bernegara.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Instruktru HMI Cabang Medan dan Mahasiswa Fakultas Hukum UISU-Medan.
Ket.gbr: Net/ilustrasi
Sumber gbr: http://bayudardias.staff.ugm.ac.id/
No comments:
Post a Comment