Mengapa Perlu Membatasi Kekuasaan Negara? - Yakusa Blog

Yakusa Blog

Mewujudkan Komunitas Intelektual Muslim

Friday, 24 November 2017

Mengapa Perlu Membatasi Kekuasaan Negara?

YakusaBlog- Sepanjang sejarah peradaban ummat manusia, dinamika hubungan rakyat dengan negara sering mengalami ketegangan. Banyak teori-teori negara klasik mengatakan bahwa negara memiliki kekuasaan penuh (absolut) atas suatu daerah atau wilayah termasuk terhadap setiap orang atau entitas manusia dalam suatu wilayah tersebut. Atau dengan kata lain, dalam teori negara klasik, negara memiliki kuasa untuk mengatur dan memaksa rakyat agar tunduk dan juga patuh pada kuasa negara.
Sangat diakui memang berdirinya suatu negara tentunya memiliki dan bagian dari ciri suatu negara adalah kedaulatan, tetapi dalam kondisi yang kita sebutkan di atas tadi, hanya negara yang berdaulat dan berkuasa, rakyat seringkali tidak berdaya terhadap kuasa negara.
Jika kita ambil pendapatnya Jellinek, kedaulatan negara adalah sebagai pangkal kekuasaan. Adanya hukum karena adanya negara, hukum merupakan penjelmaan daripada kemauan negara. Negara adalah satu-satunya sumber hukum, oleb sebab itu kekuasaan tertinggi harus dimiliki oleh negara. (Saiful Anwar, 2004:95)
Kedaulatan negara atau kekuasaan negara dipegang oleh penguasa. Dalam konteks ini penguasa itu adalah raja atau pemegang kekuasaan tertinggi di suatu negara, sering juga disebut kekuasaan pemerintah. Lord Acton berpendapat, karena kekuasaan itu dijalankan oleh manusia tentunya melekat suatu kelemahan. Dari kelemahan itu, sering sekali kekuasaan itu cenderung kepada penyalahgunaan kekuasaan. (Dani Sintara, 2007:V)
Oleh karena itu,  Hamdan Zoelva berpendapat, ketika kuasa negara melalui penguasa, raja atau melalui aparatnya yang menindas, maka terjadilah perlawanan dari rakyat terhadap negara melului berbagai pemberontakan, perlawanan, ketidakpatuhan sosial (Social disobedience) yang melahirkan banyak revolusi sosial dalam hubungan antara negara dan rakyat. (Muhammad Yasin dan Herlambang (ed), 2014:xvii)
Dari hasil perlawanan rakyat tersebut maka melahirkan berbagai konsep-konsep hubungan antara rakyat dan negara, kemudian membatasi kekuasaan negara, antara lain seperti konsep: pemisahan kekuasaan, hak asasi manusia, demokrasi, pelaksanaan kekuasaan berdasarkan hukum, lembaga peradilan yang diindependen dan lain-lain yang saling kait mengkait dan terangkum dalam konsep negara hukum.
Semua konsep-konsep tersebut menurut Hamdan Zoelva, mantan Hakim Konstitusi Negara Republik Indonesia, dimaksudkan dalam rangka pembatasan kekuasaan negara dan membangun hubungan yang benar antara rakyat dan negara. Landasan utama konsep hubungan rakyat dengan negara yang demikian didasarkan pada prinsip, bahwa karena rakyat dan untuk rakyatlah negara keadaan. Teori ini pun disebut sebagai teori kedaulatan rakyat.
Perlu kiranya diketahui, konsep pemisahan kekuasaan negara pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya kekuasaan tunggal dalam negara yang berada di tangan raja, sehingga raja menjadi sangat berkuasa dan cenderung sewenang-wenang.
Maka, untuk membatasi kekuasaan negara yang tunggul itu, dibangunlah konsep pemisahan kekuasaan negara, agar terjadi pembatasan kekuasaan antara lembaga negara, yaitu lembaga perwakilan sebagai pembentuk undang-undang (legislatif), eksekutif (raja atau presiden) sebagai pelaksana undang-undang, serta pengadilan yang mengawasi jalannya undang-undang (yudikatif). Hal ini senada dengan doktrin para sarjana, seperti J.J. Rousseau, Montesquieu dan Jhon Locke, yang mendukung kekuasaan berada ditangan rakyat, kemudian kekuasaan itu diberikan kepada pemerintah, akan tetapi kedaulatan berada di rakyat. Dalam konteks ini, doktrin Montesquieu dalam konsep Trias Politica ( Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) lebih banyak dipakai. Walaupun belakangan hari, setelah perkembangan ketatanegaraan diberbagai, tidak memakai sepenuhnya pemisahan, tapi memakai pembagian. Seperti Indonesia, memakai pembagian lembaga pemerintahan.
Selanjutnya, perlunya pembatasan kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang adalah terkait hak asasi manusia. Hal ini menurut Hamdan, menjadi landasan etis berlakunya norma hukum yang menempatkan rakyat dalam posisi yang utama dalam praktek hubungan penguasa dengan negara. Akan tetapi, mayoritas rakyat belum mengetahui ini, dan rakyat merasa bahwa dirinya berada dibawah “ketiak” penguasa.
Kemudian, perlunya membatasi kekuasaan negara oleh penguasa (raja atau pemerintah) yang cenderung pada tindakan sewenang-wenang untuk mewujudkan demokrasi. Suatu negara yang kedaulatan berada di tangan rakyat indakator terbesarnya adalah demokrasi. Konsep demokrasi, menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara. Karena negara demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Konsep negara demokrasi ini menempatkan negara dan penguasa dalam kendali rakyat serta penguasa bertanggungjawab kepada rakyat.
Yang terakhir, hal yang paling terpenting untuk membatasi kekuasaan negara atau penguasa oleh rakyat, dan rakyat menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, maka rakyat harus mempunyai alat. Nah itu, alat yang paling kuat untu membatasi kekuasaan negara atau penguasa adalah hukum.
Hukum yang dimaksudkan adalah hukum yang adil dengan landasan etis yang berdasarkan pada konsep hak asasi manusia dan dilahirkan dengan proses yang demokratis, bukan atas kehendak atau kemauan penguasa. Supaya alat rakyat tersebut menjadi kuat, lembaga peradilan (yudikatif) harus independen. Tidak lumpuh akan kekuasaan penguasa atau pengaruh mereka yang memiliki kekuasaan dalam suatu negara.
Dengan demikian pembatasan kekuasaan negara atau penguasa harus dibatasi. Tujuannya adalah supaya tidak terjadi tindakan kesewenang-wenangan oleh penguasa. Supaya tidak terjadi penindasan oleh sekelompok penguasa kepada rakyat. Dan juga, rakyat menjadi pemegang penuh kekuasaan dan kedaulatan dalam bernegara.[]

Penulis: Ibnu Arsib
Instruktru HMI Cabang Medan dan Mahasiswa Fakultas Hukum UISU-Medan.
Ket.gbr: Net/ilustrasi
Sumber gbr: http://bayudardias.staff.ugm.ac.id/

No comments:

Post a Comment