YakusaBlog- Pertama-tama perlu penulis jelaskan bahwa, motivasi saya untuk menuliskan
terkait judul di atas adalah terdorong oleh situasi pribadi yang saya alami.
Dalam kehidupan saya, terkadang saya terlalu mencintai sesuatu akan tetapi
kemudian saya membencinya, terkadang pula saya sangat membenci sesuatu,
kemudian saya mencintainya atau menyukainya. Tidak menutup kemungkinan hal itu
terjadi pula dalam kehidupan Anda. Saya tidak tahu secara pasti, Anda pasti
lebih mengetahuinya.
Motivasi itu mendorong saya untuk mencari referensi pembahasan yang sesuai
dengan hal tersebut. Untuk itu, saya pun menemukan tulisan yang menurut saya
cocok untuk menjawab permasalahan yang ada. Dan tulisan ini banyak memuat
pendapat-pendapat yang sudah pernah dituliskan.
Nurcholis Madjid yang lebih akrab disapa dengan panggilan Cak Nur, dalam
bukunya yang berjudul Pintu-Pintu Menuju
Tuhan membahas judul yang kita sebutkan di atas. Cinta dalam praktik
kata-katanya adalah mencintai dan benci (membenci) adalah bagian yang amat
nyata dalam kehidupan. Mustahil seseorang tidak mencintai sesuatu dan tidak
pula membenci sesuatu yang lain. Termasuk cinta dan benci kepada sesama
manusia.
Dengan cinta yang “sangat” atau cinta yang “membara”, seseorang terdorong
untuk berbuat positif yang besar, yang dalam keadaan biasa ia tidak sanggup
melakukannya, tapi karena cinta yang kita maksud tadi, ia dapat melakukannya.
Dengan cinta yang “sangat” atau cinta yang “membara”, ia dapat berbuat sesuatu
yang amat negatif, yang ditunjukkan kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap
menghalangi cintanya.
Sebaliknya, kebencian yang memuncak pada sesuatu, ia akan terdorong dan
mampu melakukan hal-hal negatif yang luar biasa kejinya. Misalnya seperti,
membunuh orang yang dibencinya. Dalam kehidupan kita sehari-hari, dapat kita
ketahui atau dapat kita baca berita-berita tentang kasus karena faktor
kebencian yang sangat mendalam kepada seseorang atau kepada suatu instansi.
Namun, tidak mustahil juga, kebencian dapat menjadi sumber motivasi untuk
melakukan tindakan-tindakan yang sangat terpuji, seperti kebencian seseorang
kepada musuh bersama dalam suatu bangsa yang membuat menjadi seseorang yang
gagah berani. Berani melawan kemungkaran, berani melawan penindasan, berani
melawan kesewenang-wenangan, berani membela hak-hak rakyat, dan sebagainya
dalam hal yang positif.
Jadi, cinta dan benci termasuk sumber motivasi manusia melakukan sesuatu
yang positif dan negatif. Nah, di sinilah letak permasalahannya. Seandainya
cinta dan benci itu hanya mendorong untuk berbuat baik saja, maka tidak ada
masalah. Tapi, karena bisa mendorong ke dalam perbuatan yang buruk, maka kita
harus hati-hati. Agama kita memperingatkan juga, supaya kita hati-hati terhadap
dua hal tersebut.
Tidak jarang kita cinta dan benci secara salah atau cinta dan benci
terhadap sasaran yang salah. Sesuatu yang seharusnya kita benci, malah kita
cintai. Dan seharusnya kita cintai, malah dibenci. Terkadang, hari ini kita
sangat mencintai sesuatu, tapi esok harinya kita membencinya. Hari ini kita
sangat membencinya, kelak berbalik kita mencintainya. Hal ini berarti bahwa,
tindakan-tindakan kita berdasarkan perasaan cinta dan benci yang keliru itu pun
keliru, bagi diri sendiri dan orang lain.
Oleh karena itu, agama kita (Islam) memperingatkan, kalau membenci sesuatu
maka periksalah apa yang kita benci itu. Jangan-jangan ia mengandung unsur
kebaikan dan bermanfaat bagi kita. Dan kalau mencintai sesuatu, juga telilitah
pada yang kita cintai itu, jangan-jangan ia menimbulkan bahaya atau ancaman
bagi kita.
Peringatan itu, agama Islam, salah satunya mengaitkan dengan masalah perang. Peringatan serupa juga diberikan dalam kaitannya dengan masalah perjodohan
(QS. An-Nisa’: 19), yaitu hendaknya kita jangan terlalu mudah melepaskan jodoh
kita, betapapun kita merasa benci kepadanya, pada suatu saat, sebab mungkin
justru dia membawa banyak kebaikan dari Allah Swt. pada saat yang lain.
Dalam syair Arab mengatakan: “Ahbib
habibaka hawnan ma, ‘asa an yakuna baghidlaka yawman ma. Wa ‘abghidl baghidlaka
hawnan ma, ‘asa an yakuna habibaka yauman ma.” (Cintailah kekasihmu
sekedarnya saja, kalau-kalau suatu hari dia menjadi seterumu. Dan bencilah
seterumu sekedarnya saja, kelau-kalau suatu hari dia menjadi kekasihmu).
Hendaknya jangan disalah pahami terkait apa yang kita bicarakan di atas.
Janganlah kiranya dipahami bahwa tulisan itu mengajarkan supaya orang tidak
konsekwen, apalagi menjadi orang yang oportunis.
Maksud dalam tulisan ini adalah, kiranya kita selalu menimbang-nimbang dengan
baik masalah cinta dan benci, agar kelak kita tidak menyesal. Jadi, cinta dan
benci pun kepada sesuatu hendaknya jangan berlebih-lebihan, cukup sekedarnya
saja. Tulisan ini pun tidak ada maksud saya mengaitkannya dengan cinta pada
Allah Swt dan Rasulullah Saw. karena cinta pada Allah Swt. dan Rasul-Nya telah
bagi penulis telah menjadi kemutlakan yang penuh.[]
Penulis: Ibnu Arsib
Instruktur HMI Cabang Medan
Sumber gambar ilustrasi: http://www.hipwee.com/
No comments:
Post a Comment