YakusaBlog - Para Sandiwarawan
publik ini sedang memakan bangkai-bangkai busuk yang telah dihidangkan oleh
majikannya, dan majikannya pun tertawa, “hahahah….
Sungguh bodohnya para sandiwarawan publik padahal dirumah mereka banyak daging
segar, hari ini malah mereka malas memakannya dikarnakan sudah diracuni oleh
virus-virus ketamakan dan kerakusan, mata yang indah tidak sanggup melihat lagi
mana daging busuk dan daging segar.”
Sandaran hati kini telah hilang, pegangan hidup kini telah berubah
menjadi ranting-ranring yang rapuh. Pemikiran yang jernih
berubah menjadi buram, karena mereka takut kemiskinan, berusahnya berlebihan
tanpa melihat rambu-rambu jalan kehidupan,
semuanya diterobos baik seperti pembalap dalam lintasan.
Sadaralah kita di bumi ini hanya merantau, sawah sudah dibagi
masing-masing kepada anak rantau tersebut untuk ditanami yang ingin ditanami
sehingga nanti akan menuai hasilnya.
Kegaduhan kini sudah biasa,
seperti pertunjukan wayang golek zaman dahulu, dalang memainkan wayangnya
sesuai dengan perannya, apa peran Bagong? Apa peran Semar? Apa peran dari
Petrok? Dan wayang yang lain sedang menunggu perannya dari dalang.
“Isu Sentimen agama, mengingat selalu menjadi isu yang menggiurkan dan
efektif untuk di permainkan demi hasrat politik rendahan ( Saya kutip dari seorang tokoh, Husein Ja’far Al-Hadar)”
Ketidaktahuan dan kebodohan para sandiwarawan public dengan mudah
di permainkan, baik seperti bidak catur yang terkadang di pertaruhkan untuk
melancarkan strategi dalang menghancurkan benteng lawan untuk menuai
kemenangan.
Apakah iya?
Demokrasi sebagai naskah yang mudah bagi sutradara atau pun dalang
untuk menggerakakan para wayang, bermain sesuka hati dalang, para wayang mau tidak mau harus mengikuti
instruksi dalang karena kebodohan wayang yang tidak mempunyi ilmu dan jati
diri, yang ada dibenak pikiran wayanng adalah bagai mana perut mereka tidak
lapar, kita rebut tahta meja makan yang penuh hidangan.
Akan tetapi hidangan yang ada dimeja makan disediakan oleh para
dalang itu semua sudah ada belatungnya , dikaranakan mereka yang dan sudah
lelah memainkan perannya yang diberi dalang, semuanya tutup mata dan hidungnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dalang pun
tersenyum dan tertawa, dalang berkata, “ ini rumah mu bodoh,.. dikarnakan
kebodohanmu dan ketamakanmu aku bisa
menggerakan tubuh dan pikirianmu sesuka hatiku”.
“Begitu banyak insiden, kekacauan dan pertengkaran yang melanda
bangsa ini akibat dari dialektika ketulian masal (Kata Emha
Ainun Najib yang sakutip
dari salah satu sumber)”.
Sadarlah para generasi muda, jangan mau menjadi wayang di bangsa
sendiri, bangsa ini besar dan indah, hasil alamnya sungguh melimpah ruah. Bukalah
lebar-lebar telingamu dan matamu, janganlah dengar apa yang dikatakan para
dalang yang hanya manis di depan
saja,
sehingga nantinya menusukmu dari belakang. Lihatlah kedepan,
masih banyak anak cucumu yang ingin ini makmur,
bukan untuk hancur. Buatlah jati diri bangsa ini berwibawa kembali,
bukan menjadi lahan dalang yang menemukan parawayang yang mudah dipermainkan.
Pelajarilah konsep dasar yang diberikan oleh pendiri-pendiri bangsa ini yaitu, Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 45’, itulah garis haluan untuk anak negeri, agar bisa membawa bangsa yang besar menjadi makmur. Janganlah menjadi
pemuda yang konsumerisme akan tetapi buat jati diri sendiri untuk bangsa ini,
itulah pemuda sejati bukan para wayang sejati.
Oleh: Reza Rianda
Ketua Umum HMI Komisariat FE UISU periode 2015-2016
No comments:
Post a Comment